[11] Banyak Beristighfar
Qatadah rahimahullah berkata, “Sesungguhnya al-Qur’an ini menunjukkan kepada kalian tentang penyakit dan obat bagi kalian. Adapun penyakit kalian adalah dosa-dosa, sedangkan obatnya adalah istighfar.” (lihat Tazkiyat an-Nufus, hal. 52)
Muhammad bin Wasi’ rahimahullah berkata, “Seandainya dosa itu mengeluarkan bau niscaya kalian tidak akan sanggup mendekat kepadaku, karena betapa busuknya bau [dosa] yang keluar dariku.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 365)
Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Seandainya setiap kali usai melakukan maksiat seorang insan melemparkan ke dalam rumahnya sebuah batu, niscaya rumahnya akan penuh dengan batu dalam jangka waktu yang singkat. Akan tetapi kenyataannya orang cenderung bermudah-mudahan, sehingga ia terus ‘memelihara’ maksiat-maksiat, padahal maksiat-maksiat itu dicatat. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah menghitung/mencatatnya, namun mereka jutsru melupakannya.” (QS.al-Mujadilah: 6).” (lihat Mukhtashar Minhaj al-Qashidin, hal. 472)
Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu’anhu menuturkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla membentangkan tangan-Nya di waktu malam agar orang yang berbuat dosa di siang hari segera bertaubat. Dan Allah bentangkan tangan-Nya di waktu siang agar orang yang berbuat dosa di waktu malam hari segera bertaubat. Sampai matahari terbit dari tempat tenggelamnya.” (HR. Muslim)
Abu Hurairah radhiyallahu’anhu meriwayatkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh, Allah sangat-sangat bergembira terhadap taubat salah seorang di antara kalian jauh melebihi kegembiraan salah seorang dari kalian di saat ia berhasil menemukan kembali ontanya yang telah menghilang.” (HR. Muslim)
Pada suatu ketika Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berwasiat kepada putranya Abdurrahman. Beliau berkata, “Wahai putraku, aku wasiatkan kepadamu untuk selalu bertakwa kepada Allah. Kendalikanlah lisanmu. Tangisilah dosa-dosamu. Hendaknya rumahmu cukup terasa luas bagimu.” (lihat az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 30)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Seorang hamba senantiasa berada diantara kenikmatan dari Allah yang mengharuskan syukur atau dosa yang mengharuskan istighfar. Kedua hal ini adalah perkara yang selalu dialami setiap hamba. Sebab dia senantiasa berada di dalam curahan nikmat dan karunia Allah dan senantiasa membutuhkan taubat dan istighfar.” (lihat Mawa’izh Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, hal. 87)
Yahya bin Mu’adz ar-Razi rahimahullah berkata, “Betapa banyak orang yang beristighfar namun dimurkai. Dan betapa banyak orang yang diam namun dirahmati.” Kemudian beliau menjelaskan, “Orang ini beristighfar, akan tetapi hatinya diliputi kefajiran/dosa. Adapun orang itu diam, namun hatinya senantiasa berzikir.” (lihat al-Muntakhab min Kitab az-Zuhd wa ar-Raqaa’iq, hal. 69)
Abu Dzar radhiyallahu’anhu berkata, “Tidakkah engkau melihat umat manusia, betapa banyaknya mereka? Tidak ada yang baik diantara mereka kecuali orang yang bertakwa atau orang yang bertaubat.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliya’, hal. 225)
Masruq rahimahullah berkata, “Semestinya seorang memiliki kesempatan-kesempatan khusus untuk menyendiri lalu mengingat-ingat dosanya dan memohon ampunan kepada Allah atasnya.” (lihat Min A’lam as-Salaf [1/23])